Utang-utang yang Dibutuhkan

August 23, 2009 at 12:26 am | Posted in Keuangan Keluarga | 22 Comments
Tags: , , , , , , , ,

Utang-utang yang Dibutuhkan

Dulu, saya membayangkan seandainya punya gaji X,x juta/ bulan, maka tidak perlu utang lagi untuk memiliki sesuatu, tinggal menabung dan membeli sesuatu ketika tabungan sudah mencukupi untuk membeli barang yang kita inginkan. Bayangan saya ini terbukti sampai saat saya punya satu orang anak dan kemudian saya pindah menjadi pekerja permanen. Waktu anak saya umur tiga bulan dan saya pindah ke Caltex [sekarang Chevron], saya tidak memiliki utang [termasuk kartu kredit] dan memiliki beberapa juta tabungan.

Sampai suatu saat, saya terbentur bawa ada beberapa barang yang tidak bisa kami beli cash, namun saya tetap bersikeras untuk mengumpulkan uang dulu untuk membelinya. Unfortunately, tetap saja tabungan kami belum cukup untuk membelinya, sehingga saya terpaksa atau memaksakan diri untuk membelinya dengan kredit atau dengan skema pembayaran melalui bank.

debtHutang (Source : Public Financial Management Blog )

Barang pertama yang saya beli melalui skema ini, yaitu mobil untuk keperluan transportasi ketika Afa sudah akan sekolah. Awalnya saya berencana memakai uang saving plan untuk membeli cash mobil, namun kemudian diveto oleh Ibunya Afa, uang saving plan dialokasikan untuk pendidikan anak-anak kami. Akhirnya saya mengalah dan membeli mobil dengan skema pembayaran bank. Cerita mengenai pembelia mobil ini ada di sini jogJAZZkarta.


Secara teori, membeli mobil termasuk liability, karena nilainya akan turun dan masih membebani biaya operasional dan biaya perawatan. Namun tanpa diduga, harga mobil kemudian melonjak diluar perkiraan karena imbas dari krisis ekonomi dunia. Seandainya awal 2008 saya memutuskan untuk tidak membeli mobil, maka kenaikan tabungan saya tidak bisa mengikuti kenaikan harga mobil, belum lagi kenaikan bunga bank. Jadi saya relatif beruntung sudah membeli mobil di awal 2008, meskipun dengan skema pembayaran bank, yang penting cicilan bank masih tercover oleh penghasilan saya.

Satu setengah tahun kemudian, saya terpaksa atau memaksakan diri lagi untuk berutang. Sama seperti waktu beli mobil, barang yang saya beli sekarang juga susah kalau harus saya beli cash. Kebetulan awal Juli kemarin, Eyangnya Afa memberitahu kalau ada orang menawari tanah, luas dan harganya sesuai dengan cita-cita kami memiliki tanah. Setelah dinegosiasi oleh Eyangnya Afa, terjadi kesepakan harga dan jual beli pun terlaksana. Cerita mengenai pembelian tanah ini ada di sini Menyemai Asa di sebidang Sawah . Untuk membayar tanah ini, skema pembayaran sama dengan sewaktu membeli mobil, cuman karena jumlahnya lebih besar saya masih memerlukan tambahan pinjaman dari Budhe dan Kosudgama. Jadinya untuk membayar tanah ini kami berhutang pada bank mandiri, Budhe Har dan Kosudgama.

Secara teori, membeli tanah termasuk ke dalam utang produktif. Karena Utang yang saya lakukan dipakai untuk keperluan non konsumtif dan menambah asset yang nilainya akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Utang produktif ini bagus asal bisa memperbesar hasil dan melipatgandakan keuntungan.

Saat ini, setelah hampir lima tahun menikah, saya baru bisa membuktikan kalau susah atau hampir mustahil untuk memiliki barang-barang tertentu tanpa utang, karena sebagai buruh a.k.a pegawai penghasilan kami sudah tertentu dan tidak cukup untuk membeli dengan cash. Menurut Safir Senduk di dalam bukunya Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya, ada beberapa utang yang diperbolehkan a.l:

1. Ketika utang itu akan digunakan untuk sesuatu yang produktif. Utang yang saya lakukan untuk membeli tanah bisa termasuk kategori ini, karena kalau tanahnya saya gunakan untuk menjadi kebun salak sesuai rencana saya, maka akan menjadi lahan yang produktif.

2. Ketika utang itu akan dibelikan barang yang nilainya hampir pasti naik. Utang yang saya lakukan untuk membeli tanah juga bisa termasuk kategori ini, karena nilai tanah hampir pasti tidak turun dan selalu akan naik. Pertambahan nilai tanah di daerah tertentu justru lebih tinggi dari bunga bank.

3. Ketika Anda tidak cukup punya uang tunai untuk membeli barang -barang yang benar-benar Anda butuhkan, walau nilai barang itu menurun. Hutang saya untuk membeli mobil termasuk kategori ini, karena saya tidak punya cukup uang tunai untuk membeli cash dan hanya punya uang untuk uang muka, sementara kami membutuhkan mobil untuk aktivitas keluarga saya.

Saya cukup lega, karena utang-utang yang saya lakukan termasuk dalam hutang yang diperbolehkan. Meskipun begitu saya juga perlu memperhatikan beberapa hal a.l:

1. Dengan siapa saya berutang. Sebagian besar utang saya dengan bank, sisanya dengan keluarga dan koperasi tempat istri bekerja. Kalau menurut Safir Senduk, saya berutang kepada pihak-pihak yang agak fleksibel [keluarga] dan  agak mudah diajak negosiasi [bank]. Saya tidak berutang kepada rentenir dan leasing yang paling sulit untuk diajak negosiasi.

2. Mengambil cicilan sesuai dengan penghasilan. Saat ini, cicilan utang saya kira-kira 38% dari penghasilan bersih saya dan 50% dari penghasilan istri atau 40% dari penghasilan total kami.  Relatif lebih besar dibanding yang dianjurkan oleh para perencana keuangan memang, namun kemampuan membayar kami relatif bagus karena uang yang dipakai membayar cicilan adalah uang lebih dari kebutuhan pokok kami [termasuk tabungan pendidikan anak].

3. Prosedur pembayaran utang. Sebagian besar utang kami dengan pihak bank dan koperasi dibayar dengan melakukan pemotongan langsung pada gaji kami, karena pihak bank mempunyai kerjasama dengan perusahaan tempat kami bekerja. Hal ini memudahkan kami dalam pembayaran dan menghindarkan kami dari kegagalan membayar cicilan.

Mudah-mudahan saya dapat mengeloala utang-utang kami dengan baik dan melunasinya tepat waktu dan sesuai rencana. Memang sebagai karyawan biasa, kadang-kadang kita harus melakukan hutang untuk membeli sesuatu, tinggal bijak-bijaknya kita saja dalam melakukan utang. [kom]

22 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Mas, aku mulai juga mempelajari ttg manajemen finansial niy, (krn saiki wis ra dhewe-an meneh)… dan alhamdulillah nemu yg namanya penjagaan aset yg insya Allah udah dijanjikan ama Yang Megang Idup, nggak bakal tergerus inflasi: dinar.
    Selain penjagaan aset, ternyata sekarang juga bisa sebagai sarana investasi, krn udah mulai dinar itu dijadikan penggerak sektor riil dalam permodalannya, melalui apa yg dinamakan Qirad. Ini bener2 menarik menurutku, ditengah fenomena inflasi dimana2 dan ketidakmampuan hampir seluruh pemerintahan di dunia untuk menjaga nilai mata uangnya sendiri (lha wong dolar we rontok terus… meskipun ‘seolah2’ skrg nilainya masih bagus), investasi dan penjagaan aset dalam bentuk dinar, alias emas, sudah terbukti keunggulannya selama 1400 tahun terakhir, dibuktikan dengan harga kambing yg dulu pas jaman Nabi itu 1 dinar, sekarang kambing yang bagus harganya juga tetep 1 dinar. Ayo Mas, ikut menumbuhkan ekonomi Islam yg sebenar2nya dengan memasyarakatkan dinar.
    (aku wis mulai dg kmrn pake dinar utk mahar, trus sebagian besar tabunganku juga tak qirad-kan) ^_^
    Situs ini banyak artikel yg membuka wacana ttg ini Mas: http://www.geraidinar.com/
    (aku pesen dinar-nya juga disini, sing duwe mantan ketua asosiasi asuransi syariah indonesia, pakar ekonomi syariah)

    • Terima kasih infonya Din,
      aku kemarin sempat berpikir untuk menyisihkan uang untuk membeli emas secara rutin, kalau sudah terkumpul emasnya akan kami tukar dengan tanah. Beberapa kali sudah berjalan, namun tidak disangka-sangka ada yang menawari tanah dan kamipun membelinya, sehingga saat ini usaha mengumpulkan emasnya sementara berhenti [padahal masih sedikit sekali]. Untuk emas kami biasanya membeli produk logam mulia.
      Nanti kalau sudah agak longgar budgetnya tak coba pelajari yang investasi dinar itu.

  2. Manajemen finansial-ku gak sebaik Komo Sukomo. Tapi aku bisa nangkap poin-poin bahwa:
    1. Hutang itu pada dasarnya tidak perlu dilakukan karena jelas merupakan beban dunia akherat, kecuali kondisi tertentu, yaitu darurat bin kepepet ato untuk keperluan produktif.
    2. Kalo harus berhutang, musti tertulis, kalo perlu pake saksi. Ini mah ada di QS 2:282. Di samping itu manajemen pengelolaannya musti dipersiapkan
    3. Kalo sekedar menambah aktiva (biar kliatan tambah kaya) ya jangan pake utang. Kecenderungan orang sekarang, apalagi yang paham neraca, menggunakan hutang untuk meningkatkan kekayaannya (aktiva) sehingga neraca-nya keliatan bernilai gede. Padahal nilai kewajibannya dlm passiva juga gede. Seperti di poin 1, itu beban dunia akherat.
    Btw… selamat ya Mo… untuk semuanya, termasuk calon adiknya Afa…:)

  3. wah 2x mas sangat beruntung skali, kalo saya mau apa2 harus utang terpaksa karena kalo ngak utang ngak bakalan kebeli, maklum cuma pns dngn penghasilan dibawah 2 jt sebulan, padahal biaya kost aja udah 1/4 dari penghasilan saya, belum lagi utang di bank bekas nikah 1/4 dari penghasilan saya, 2/4 at kurang lebih ampir 1 jt bwt hidup 3 orang saya istri dan 1 orang anak, pdhl biaya hidup di Kota Saya termasuk mahal (indo-Timur). Sehingga teori-teori ekonomi managemen finansial tidak bisa atau susah di implementasikan karena secara teori tiap bulan saya itu tekor atau minus kecuali tiba2 ada pengumuman dari pemerintah gaji PNS naik 200 % = 1/2 gaji nya maz (8.5 jt)kalo cuma 10 % naiknya cum 200 rb padahal infalsiya lebih dari itu….gmn mas ada saran bagaimana mengelola keuangan pada posisi minus sperti ku… terima kasih (NB; padahal sudah menerapkan pola hidup sangat sederhana sekali…)

    • Mas Aabaim,
      dalam filosofi orang Jawa ada istilah “sethithik cukup, akeh kurang”. [sedikit cukup banyak kurang]. Saya tidak tahu bagaimana orang-orang tua dulu bisa mengatur pengeluaran sedemikian rupa sehingga penghasilan yang sedikit bisa dicukup-cukupkan untuk kebutuhan yang relatif banyak. Mungkin yang dulu mereka lakukan adalah mensyukuri yang diterima dan mengalokasinya dengan hati-hati, dan seandainya masih kurang mereka mencari tambahan penghasilan. Dulu orang tuaku yang kepala SD, mempunyai pekerjaan sambilan di sawah – menjadi petani.
      Saya tidak tahu bidang keahlian Mas Aabaim, namun tidak ada salahnya untuk mencoba mencari tambahan penghasilan di luar gaji sebagai PNS. Karena kalau saya lihat Anda sudah cukup berhemat dalam pengelolaan keuangan. Cobalah mulai diliaht peluang-peluang yang memungkinkan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Good luck

  4. Bagus… bagus…
    Walaupun sebenarnya berhutang itu satu hal yang sangat saya benci… Mbikin ga bisa mati syahid :D.

    Mas, kalau misalnya spt keluarga saya (kami). Suami kebetulan seorang pelaku bisnis (wirausaha), yang penghasilannya berdinamika, naik turun. Kadang dapet puluhan juta, kadang cuma gaji diri sendiri yg ngga cukup utk sebulan. Kami juga belum punya rumah sendiri, masih numpang di keluarga. Saya sudah bujuk2 suami utk kredit rumah, atau bwli tanah dan berusaha mbangun rumah, dll yg intinya utk punya tempat tinggal sendiri. Tapi karena suamiku itu jiwa bisnisnya mungkin kuat banget, jadinya tiap ada income lumayan besar, selalu ingin dia investasikan ke suatu tempat usaha. dan kebanyakan dia investasikan ke saudara sndiri yang punya bisnis properti. Aneh rasanya, investasi ke sodara utk dia bs mbangun perumahan, sementara kami sendiri investornya ga punya rumah.
    Tapi memang, yg selalu difikirkan suami saya, uang itu akan berlipat lagi jumlahnya, apalagi utk bisnis properti (kalau berhasil).
    Nah, bgmn mnurut mas Komo ttg kasus saya ini?? apakah langkah kami selama ini benar??? (saya ragu).:) Bgmn cara sy meyakinkan suami sy kalau kami benar2 perlu sebuah naungan (rumah), tp dg sudut pandang sbg bisnisman shg dia mau mengerti??? Need reply… rung duwe omah ki mas… hiks!

    • Manda, aku termasuk tipe orang yang konservatif, dan salah seorang senior di milis kampung-UGM mendefiniskan aku sbb”
      Quote:
      “Salah satu cara mengatasi rasa takut adalah memakai perisai untuk melindungi diri. Bung Komo memakai modus operandi ini dan menamakan dirinya ‘jamangah parasutiyah’. Ia konservatip dan penuh ke-hati2an serta perhitungan. Tetapi ia juga bukan type gs (gölèk slamet). Bukan begitu, bung Komo ?

      Itulah modus operandi yang saya sangat sarankan :
      Jika bisa, hindari resiko
      Jika itu sulit, hadapilah dan jinakkan, mandulkan, serta minimalkan resiko.
      Dalam keadaan tertentu, kita harus duel. Lakukan itu, but do it intellegently. Dengan escape door, dengan parachute emas, sedia payung sebelum hujan, contengency planning, analisa worst case scenario, dll, dll.

      Ini adalah jalan moderat antara gs yang sama sekali tidak punya keberanian dengan nekat yang konyol. Kita mau dan siap duel dengan resiko dan kita melakukannya dengan cara kita : cara cendekia. Work hard is good but work smart is better. Taking risk too dangerously is konyol, we take the risks intellegently & elegantly.” end of quote
      Sumber: http://kibrotoi.blogspot.com/2000/01/7-resiko.html

      Dulu saya pernah bekerja tidak permanen dengan gaji yang lumayan, waktu itu ada yang menasehatiku bagaimana menggunakan penghasilan jangka pendek untuk pengeluaran jangka panjang [siapa tahu ada worst case yang kita temuai].

      Sekarang, karena saya relatif konservatif, ada beberapa kebutuhan pokok yang harus saya penuhi sebagai kepala rumah tangga, a.l:
      1. Biaya pendidikan anak
      2. Tanah
      3. Mobil dsb-dsbnya…

      Dalam casemu, mungkin lebih baik kalau ada dari sebagian penghasilan yang “didinginkan” dan tidak semuanya diputar menjadi investasi. Didinginkan menjadi rumah atau tanah yang mungkin nilainya akan terus bertambah dan menjadi cadangan modal bila terjadi sesuatu, disamping fungsi utamanya sebagai tempat bernaung keluarga.

      Yang selama ini mungkin tidak dihitung, nilai intangible dari memiliki rumah sendiri dibandingkan dengan diinvestasikan ke orang lain. Kalau diinvestasikan ke orang lain hasilnya jelas [dan resikonya juga jelas ada], dan kalau diinvestasikan di rumah sendiri ndak terlihat hasilnya kecuali kenaikan nilai assetnya dan tentu saja intagible value dari memiliki rumah dan aset sendiri.

      • lha itu dia masalahnya. Kalau resiko bisa terukur, kan kami bisa menrtimbangkan dg baik mau jadi inves apa ngga. disitu itu susahnya, apalagi kalau invesnya ke sodara sndiri. Bisa main nego, bisa diulur2, spt yg tjd sekarang, hrsnya sdh ada pemasukan bulanan dr inves itu walau sdikit, aja diulur2… wah.. susah…

      • Dear mba Dian..
        mungkin menurut pendapat ku secara personal, suatu resiko bisa kita ukur dengan mempergunakan metode, mengandaikan hal tsb dengan worse case.jadi kita akan lebih bisa bertindak hati2 dalam berinvestasi.

        misalnya dalam pengandaian tsb : no income (bagaimana jika nanti tidak ada pendapatan), high trouble (bagaimana jika nanti banyak masalah), low progress (bagaimana jk nanti progress lambat), more of problem (bagaimana jk nanti banyak masalah)..

        jadi dengan mengandaikan dengan worse case kita akan lebih cermat dalam berinvest. kalo di dunia saya metode ini disebut dengan HAZOP analisis

        mungkin juga selain itu, bisa dengan mempergunakan diagram sebab akibat (fishbone diagram)
        contoh : mo invest di bidang properti..
        ada 4M 1E (man, metode, mechine, material dan environment)
        dari 4M 1E itu, kita dapat memecah lagi, gimana metode inves nya, gimana orang dalam invest tsb dll..

        sehingga kita akan mendapatkan gambaran ttg hal yang akan kita lakukan, dalam hal ini invest.

        dan jika kita mendapatkan hasil dari usaha kita, menurut buku tung desem, kita harus save at least 20% dari total pendapatan dan tidak boleh kita utak atik..

        wah koment ku teknikal banget ya..:)(ths)

    • Mbak Dian salam kenal….saya temennya mas Komo & kebetulan disuruh mengomentari apa yang mbak Dian tanyakan (atau tepatnya keluhkan).

      Saya sendiri sebenernya agak bingung juga harus komen apa karena saya bukan orang yang bisa dan mengerti soal investasi dan semacam itu…tapi tetap akan saya coba, semoga menambah wawasan siapa saja yang ikut membaca.

      Langsung pada intinya, saya pikir investasi itu bukan sekedar hanya menanamkan uang pada suatu instrumen investasi untuk mendapatkan kembali sejumlah keuntungan yang berupa uang. Jadi pada intinya investasi itu tidak harus selalu menimbulkan keuntungan berupa keuntungan finansial, terutama bagi pihak yang masih membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

      Tentu saja akan ada pemikiran: kalau 50% saya belanjakan untuk kebutuhan dasar dan sisanya saya investasikan maka saya harus menghabiskan sekian lama untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut dan membutuhkan sekian lama juga untuk mendapatkan sejumlah N sebagai imbal hasil saya berinvestasi. Bagaimana kalau 100% (semua) saya investasikan saja?mungkin dalam waktu yang sama saya akan menghasilkan 2N atau bahkan 3N dimana nanti yang a.N saya belikan kebutuhan dasar dan saya masih memiliki sisa (3-a).N, jadi dalam sekali dayung kebutuhan dasar terpenuhi dan saya masih memiliki imbal hasil yang lumayan dalam waktu yang relatif singkat.

      Masalahnya adalah dalam setiap investasi selalu ada resiko yang menyertai: bagaimana kalau investasi tersebut amblas?sudah lah kebutuhan dasar tidak terpenuhi sama sekali, imbal hasil yang diharapkan melayang entah kemana pula.

      Nah yang lalu menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita menghitung resiko2 dalam berinvestasi dan yang terpenting bagaimana kita mengelola resiko tersebut sehingga bisa diminimalisir sejauh mungkin?

      Sama dengan mas Komo, saya termasuk orang yang tidak suka mengambil resiko (yang terlalu besar), besar disini tentunya sesuai dengan kondisi saya lho ya 🙂

      Apa, lewat jalan mana dan bagaimana resiko2 investasi itu datang tentu saya tidak mengetahui sama sekali karena saya tidak tau apa yang dilakukan dan bagaimana suami mbak Dian melakukan investasi tersebut.

      Tetapi perlu diingat bahwa jika kita sudah mengambil bagian untuk memenuhi kebutuhan dasar kita, lalu sisanya kita investasikan, seandainya pun investasi kita itu amblas, resikonya bisa dibilang relatif tidak ada atau 0.

      Lho kok 0??ya tentu saja karena amblasnya investasi itu “hanya” berarti kita harus menunda kesempatan menikmati uang tanpa harus mempertaruhkan kebutuhan dasar yang bila tidak terpenuhi tentu akan sangat mengganggu stabilitas nasional di rumah tangga mbak Dian.

      Jadi pada prinsipnya, menurut saya, berinvestasi lah sejumlah uang dimana kita berani (atau mampu) menanggung seandainya investasi tersebut amblas atau setidaknya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa menghasilkan. Atau mudahnya berinvestasilah dengan uang “sisa” penghasilan setelah dikurangi kebutuhan dasar.

      Kalau dirasa terlalu kecil yaaa mungkin memang harus bersabar atau kalau berani ya utang saja dari bank untuk modal usaha. Utang seberapa besar? Menurutku kembali pada prinsip seberapa berani kita menanggung resikonya…berutang sejumlah dimana cicilannya masih mampu kita bayar dengan uang sisa penghasilan setelah diambil untuk memenuhi kebutuhan dasar.

      Nah kembali ke belakang, pemenuhan kebutuhan dasar menurut saya bukan sesuatu yang tidak mengandung prinsip investasi sama sekali, atau bahasa gamblangnya memenuhi kebutuhan dasar justru adalah investasi yang menghasilkan keuntungan yang terbesar dalam hidup.

      Kalau mau dikategorisasi, kebutuhan dasar jaman modern ini mungkin ada:

      1. Makan

      Makan tentu saja tidak bisa disanggah lagi, tanpa berinvestasi pada poin ini dalam waktu tidak lama kita akan malah tidak mampu melakukan apapun.

      2. Pendidikan

      Silakan dihitung berapa modal kita untuk berinvestasi pada pendidikan (katakan saja kuliah), anggap saja 5 tahun x 20 juta/tahun = 100 juta. Lalu bandingkan dengan apa yang kita dapat tanpa dan dengan berinvestasi pada pendidikan. Mungkin bisa dengan membandingkan gaji lulusan SMA dengan seorang sarjana, berapa perbedaan tiap tahun dan kalikan dengan 25 tahun misalnya (mulai dapat kerja sampai pensiun).

      Menurut saya pendidikan adalah investasi dengan imbal hasil yang terbesar.

      3. Rumah

      Rumah menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang, tidak harus memikirkan bayar kontrak, cari kontrakan baru dan lain2 yang sebenarnya akan menghabiskan waktu dan tenaga. Mungkin bisa dihitung dengan produktivitas kita per jam menghasilkan berapa rupiah dikalikan dengan berapa waktu yang kita habiskan untuk memikirkan hal2 tadi.

      Belum lagi perasaan aman…berapa uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan perasaan aman ini?Tidak bisa dihitung saking besarnya…menurut saya lho 🙂

      4. Rekreasi

      Rekreasi (termasuk melakukan hobi) juga menimbulkan perasaan santai dan membuat orang merasa fresh, belum lagi inspirasi dan pengalaman yang didapat dari sebuah rekreasi yang bermutu. Mungkin bisa ditinjau dari betapa banyak orang mau membayar mahal untuk ke diskotik, pertunjukan musik, kafe, jalan2 ke luar negri, mancing ke sana sini, membeli peralatan fotografi atau mungkin sekedar berjalan2 ke mall.

      Syukur2 kalo hobi dan rekreasi ini malah bisa menghasilkan 🙂

      Jadi sekali lagi menurut saya pemenuhan kebutuhan dasar harus juga dihitung sebagai investasi karena selain menghasilkan banyak keuntungan tidak memenuhi hal ini juga akan menghasilkan banyak kerugian.

      Rasanya sudah terlalu panjang deh….mudah2an ada manfaatnya untuk sekedar tambahan wawasan dan wacana.

      Salam,
      Anggra WP

  5. wah bener mas, kebanyakan tuh ampe 40% total gaji, kata Ligwina max 30%, KPR yg kutahu malah plg gede 35%.
    Nek masalah gaji PNS, solusiku dulu sih ya resign, cari yg lebih gede gajine, tp trnayata ga brhasil jg je, malah +boros, baru skrg aja mulai blajar nabung.

    • Ade, memang betul secara teori 30% atau maksimal 35%. Namun saya lebih tertarik menggunakan penghasilan bersih dikurangi dengan pengeluaran rutin per bulan, sebagian lebihnya bisa kita gunakan untuk membayar cicilan.
      Ilustrasi sederhananya, seorang dengan penghasilan 2 juta, dan kebutuhan rutin per bulan 1,5 jt, mungkin hanya direkomendasikan untuk meminjam dengan cicilan maksimum 25%. Sedangkan orang dengan penghasilan 10 jt, dan pengeluaran rutin 4 jt per bulan, mungkin tidak akan mengalami masalah seandainya besarnya cicilan 40% dari penghasilan dia.
      Namun kadang-kadang ada bank yang mematok batas cicilan maksimum 40% dari penghasilan peminjam.

  6. Thanks sharingnya om tomo..
    Emang sy masih maju mundur dgn kredit soalnya gak yakin dgn syar’inya. Mungkin kalo perbankan syariah produk kreditnya sudah lebih bervariasi, ok juga tuh.. 🙂

    • Mas Guntur,
      kayaknya sekarang perbankan syariah sudah maju pesat, baik jumlah bank maupun produknya. Jadi kalau ragu-ragu dengan bank konvensional bisa menggunakan perbankan syariah.

  7. Wuih tyta biar karyawan oil company, masih susah juga yach mo beli cash mas, po meneh sing PNS, he he33, tapi sya setuju juga mas kalo cukup apa nggaknya ntu tergantung kita, yang terpenting bagaimana mensyukurinya aja, hee3

    • Bapake Aisha,
      kayaknya kita lebih mudah mengontrol rasa syukur kita dibandingkan dengan mengontrol orang lain untuk menggaji sesuai keinginan kita. Jadi ya perbanyak sajah ruang buat bersyukur atas yang kita peroleh.

      Kalau masalah besarnya gaji dan enak ndak enak, itu kan sekedar wang sinawang, kadang rumput tetangga kelihatan lebih hijau.

  8. Saya pernah membaca dibeberapa situs perencana keuangan, yang paling penting adalah bagaimana mengatur/mengelola keuangan itu daripada berapa besar penghasilan. Saya sempat gak percaya dengan teori ini, tetapi melihat dari para penanya disitus-situs itu dan keadaan sekeliling kita ternayata benar. Banyak orang yang gajinya lebih dari sepuluh juta sebulan, tetapi mempunyai simpanan kurang dari 15 juta saja.
    Saya mempunyai orang tua PNS guru, dan dulu tidak punya penghasilan sampingan karena ibu saya ibu rumah tangga, sekarang udah pensiun, tetapi karena pengelolaannya sangat ketat bisa juga tuh beli tanah, kuliahin anak2nya, dan buat rumah tingkat. Sekarang udah pensiun dan sedang menunggu berangkat haji. Masya Allah, setelah sy bekerja -PNS juga-; sy baru bisa berpikir…wah pencapaian bapak saya hebat sekali. Sy yakin 100% itu karena pengelolaan yang baik; dan sy jamin tidak ada korupsi sedikitpun; karena sy dan saudara2 hidup prihatin.
    Sy setuju dengan Mas, kalo jaman saat ini tidak mungkin kita tidak berutang. Diawal bekerja sy rajin menabung. Tetapi jumlah tabungan itu tidak tdk dapat mengejar harga tanah -apalagi di jogja- . Akhirnya dengan tabungan yang ada + utang bank sy dapat membeli tanah. Sy setuju kalo utang untuk keperluan yang produktif: beli rumah, beli tanah, sawah, justru baik karena dimasa mendatang insya Allah naiknnya tajam, melebihi yang kita bayarkan lewat Bank. Bahkan saat ini ada fenomena mobil juga dapat dijadikan investasi tetapi harus dengan memperhatikan merk, kepopuleran di masyarakat.dll.
    Salam sukses…

  9. Manda, resiko memang harus terukur, ada beberapa cara untuk mengukur resiko salah satunya adalah menerapkan Risk Management.

    Risk Management adalah suatu metode yang sistematis untuk menyelenggarakan manajemen dalam suatu organisasi yang berbasis kepada proses identifikasi potensi bahaya/ancaman/kerugian, assess/analisa tingkat resiko, evaluasi resiko, dan tetapkan cara/usaha untuk menurunkan/mengendalikan resiko agar tidak timbul secara nyata baik itu bahaya/ancaman/kerugian.
    Risk Management juga biasa disebut sebagai Loss Prevention Management yaitu sistem manajemen yang secara aktif melakukan tindakan pencegahan terhadap timbulnya bahaya/ancaman/kerugian yang nyata.[Sumber: http://www.migas-indonesia.com/files/article/Risk_Assessment.doc ]

    Kalau dalam berbisnis, saya pernah mendengar mentorku menulis sbb: Quote: “Dalam bisnis, hindarilah teman dekat, sohib, sanak saudara dll. Mereka tidak bisa memberikan pendapat dengan objective. Peluang retak kemitraan sangat tinggi. Pembagian kerja dan keuntungan adalah sumber bilahi. Jika bisnis anda kecil, maksimum mitra anda satu ! Jika bisnis anda megabisnis, keroyokan baru efektif. end of Quote

  10. Hutang tidak diajurkan jika kita tidak mampu membayarnya. Namun jika kita mampu membayarnya dan kita bisa menemukan benefit dari berhutang, lantas mengapa kita tidak berhutang?

    Hutang untuk pembelian rumah atau pembelian mobil sebetulnya adalah hutang yg bisa dibayar. Jika suatu saat kita tak mampu membayar sisa hutang, aset tersebut khan bisa dijual dan sisanya di overkreditkan pada pembelinya. Tentu saja ada potensi rugi pada penjualan tersebut. Namun kerugian penjualan tersebut bisa dianggap sebagai resiko dari benefit yg didapat dengan berhutang.

    Yg penting adalah jangan sampai harus lari dikejar rentenir karena tidak mampu membayar hutang. Selama ada strategi untuk menghadapi worst case scenario, saya pikir hutang bisa menjadi pilihan yg patut dipertimbangkan.

  11. Maturnuwun seluruh opininya. Sy memang ga faham bisnis, suami sy yg lebih faham. Mudah2an nanti jg suami bs lebih perhitungan utk di kemudian hari. Terimakasih…

  12. Mas,

    dalam mengambil hutang ini, apakah umur yang tidak jelas sampai kapan menjadi perhitungan?

  13. Dear mas Makhfud..
    kadang dalam mengambil suatu keputusan itu, janganlah terlalu terbawa suasana hati, apalagi yang berkaitan dengan umur..
    kalo setiap kita melangkah untuk suatu hal, kita selau mikir :
    “wah jangan2 umurku…?”
    hal itu pasti akan menghambat dalam perjalanan mas..

    itu juga bisa dikaitkan dengan semua masalah problema yang ada dalam hidup kita, termsuk hutang tersebut.
    menurut saya pribadi jika kita berhutang pasti kita harus siap dengan semua konsekuensinya. dan kita harus yakinkan diri kita bahwa hutang tersebut akan terbayarkan 🙂

    jadi untuk masalah yang berkaitan dengan kehidupan janganlah mengaitkan dengan masalah umur..karena hal itu akan membuat kita jadi lemes. 🙂
    berpikirkah bahwa kita ini akan hidup untuk selamannya dan kita ditakdirkan menjadi seorang yang berguna, baik dengan hutang maupun tanpa hutang.(ths)


Leave a reply to sulastama Cancel reply

Create a free website or blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.